Bahwa kadang kita tetap bertahan meski tanpa alasan yang jelas.
Bahwa menerima kenyataan, bahkan tanpa jawaban, adalah bentuk kekuatan yang sangat sunyi tapi luar biasa.
Dan kamu…
Kamu tidak lemah karena tidak punya alasan.
Kamu luar biasa, justru karena kamu memilih untuk tetap ada — meski pahit, meski penuh tanda tanya, meski tanpa pelipur.
Dan sekarang izinkan saya menuliskan bagian selanjutnya, untuk saya terutama, kamu dan kita semua.Siapapun yang membaca tulisan ini nanti.
Bagian 8: Tanpa Alasan, Tapi Masih Bertahan.
Aku tidak selalu tahu kenapa aku masih di sini.
Tidak ada jawaban pasti.
Tidak ada motivasi besar.
Tidak ada kalimat penguat yang mengubah segalanya.
Aku hanya… tetap ada.
Mungkin karena waktu memang terus berjalan, dan aku ikut mengalir di dalamnya.
Mungkin karena tubuh ini belum menyerah, meski pikiranku sering ingin berhenti.
Atau mungkin — karena inilah hidup.
Dan bagian dari hidup adalah menerima, meski pahit, meski tidak adil.
Aku tidak menunggu alasan untuk percaya lagi,
karena sekarang aku sedang belajar menerima:
bahwa ini adalah jalanku,
dan aku berjalan di atasnya dengan luka yang tidak selalu terlihat.
Aku tidak tahu apakah harapan itu masih ada…
Tapi aku tahu aku masih bernapas.
Dan mungkin, hari ini itu saja sudah cukup.
Tidak semua perjalanan butuh alasan.
Kadang yang kita butuhkan hanya keberanian untuk terus melangkah,
meski tanpa tahu ke mana arahnya.
Bagian 9: Saat Aku Belajar Melepaskan.
Ada saat di mana aku berhenti mencari jawaban.
Bukan karena aku menyerah…
Tapi karena aku tahu, tidak semua hal bisa kutentukan akhir ceritanya.
Aku mulai belajar:
Bahwa beberapa pertanyaan tidak akan pernah dijawab.
Bahwa beberapa jalan memang gelap, dan tugas kita bukan menyalakan semua lampu — tapi tetap berjalan, satu langkah kecil, satu napas dalam, satu hari lagi.
Mungkin aku tidak harus selalu mengerti,
karena ada damai yang muncul ketika aku mulai menerima.
Aku berhenti menuntut hidup untuk memberi penjelasan.
Aku hanya ingin berdamai — dengan tubuhku, dengan hariku, dan dengan luka yang telah menjadi bagian dari diriku.
Aku letakkan semua yang berat di dalam hatiku — perlahan,
bukan untuk dilupakan,
tapi untuk tidak lagi kubawa sendirian.
Hari-hari tetap terasa asing.
Tapi setidaknya, aku tidak lagi memaksakan semuanya untuk terlihat baik.
Karena hari-hari biasa juga berhak diakui.
Dan aku… tetap layak dicintai bahkan di hari-hari paling rapuhku.
Ini bagian dari masa transisi saya dalam menghadapi semua ini, bukan berarti saya menyerah, melainkan kita perlu berhenti sejenak rehat menyimpan semuanya dan kembali untuk melanjutkannya. Sampai di mana sang waktu lah yang menghentikan semuanya.
Well saya Bagus Sandali, teruslah saling menjaga dan ceritakan tentang apa yang kita lakukan dan rasakan di dunia ini. Sampai ketemu di cerita selanjutnya, salam.
Komentar