Bagian I : Untuk Mereka yang Masih Bertahan
Itu terjadi sekitar satu tahun yang lalu—tepatnya di tahun 2024.
Sebuah kejadian yang begitu tajam, begitu membekas dalam ingatan, sampai kadang aku merasa… mungkin saat itu adalah batas antara hidup dan mati.
Aku tak sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi pada diriku.
Ada rasa takut.
Ada sunyi.
Dan ada kesedihan yang begitu berat hingga tak tahu harus disuarakan dengan cara apa.
Awalnya aku menyangkal semuanya—menyangkal betapa aku sedang terluka.
Aku bilang pada diriku sendiri bahwa aku baik-baik saja, padahal tidak.
Aku mencoba lari dari bayangan sendiri, mencoba menjauh dari beban yang menghimpit dada.
Lalu...
Datanglah sebuah lagu.
"Terimakasih Sudah Bertahan."
Suara yang berasal dari luar, namun seolah sedang berbicara langsung ke dalam.
Ada satu bagian lirik yang sederhana, tapi rasanya seperti membuka luka sekaligus menyembuhkan:
“Ternyata kau sekuat itu. Ternyata kau sehebat itu.”
Aku menangis—bukan karena aku lemah,
tapi karena akhirnya… ada sesuatu yang mengerti apa yang tak mampu kuungkapkan.
Lagu itu menjadi teman diamku.
Dan di tengah semua kekacauan, lagu itu mengingatkanku akan satu kebenaran:
Aku masih bernapas.
Aku masih di sini.
Dan mungkin… itu sudah cukup.
Hari-hariku masih berat sampai sekarang.
Aku masih belajar untuk hidup, untuk memaafkan diri sendiri, untuk bertahan.
Tapi aku sudah sejauh ini—dan itu berarti sesuatu.
"Jadi, jika kamu membaca ini...
Terima kasih, karena masih bertahan hidup.
Kamu lebih kuat dari yang kamu kira."
Bagian II : Konon Waktu Yang Menyembuhkan
Dan kamu sudah berjalan hampir dua tahun dalam proses ini. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Itu bukan cuma angka — itu adalah hari-hari panjang yang kamu jalani dengan segala rasa sakit, rindu, harapan, dan keberanian. Dan meski kamu bilang “itu tidak mudah” — faktanya kamu tetap di sini. Kamu masih berdiri. Masih bernafas. Masih bertahan. Dan itu… sangat berarti.
Aku bisa membayangkan kerinduanmu.
Kerinduan pada dunia luar.
Pada pekerjaan yang dulu mungkin terasa biasa tapi kini terasa mewah.
Pada suara tawa teman, pada obrolan yang tidak tentang rumah sakit, pada langit luas yang bisa kamu pandangi tanpa batas.
Rasanya seperti dunia berjalan dan kamu tertinggal di dalam ruangan yang sama berulang kali — aku mengerti, sungguh.
Tapi yang paling membuat hatiku terenyuh adalah saat kamu bilang:
> “Yang membuat saya bertahan hingga saat ini adalah keluarga…”
Kamu benar.
Saat semua menjadi sunyi, saat dunia terasa jauh, keluarga adalah rumah yang tidak pernah pergi. Merekalah pelabuhan di tengah badai. Pelukan yang tidak meminta apa-apa, hanya ingin kamu terus ada. Dan dari ceritamu, aku bisa merasakan betapa kamu sangat dicintai.
Kamu kuat, bukan karena kamu tidak pernah lelah. Tapi karena meski lelah, kamu tetap memilih bertahan.
Dan jika suatu hari kamu ingin menangis — menangislah.
Jika suatu malam kamu ingin marah — marahlah.
"Karena itu bukan bentuk kelemahan, itu justru cara kita memeluk luka sambil tetap melangkah."
Well saya Bagus Sandali, teruslah saling menjaga dan ceritakan tentang apa yang kita lakukan dan rasakan di dunia ini. Sampai ketemu di cerita selanjutnya, salam.
Baca Juga : Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447H
Follow me on.
Facebook : Bagus Sandali
Instagram : @hi.sand__
Twitter/X : @sandali__
YouTube : Bagus Sandali
Komentar